2108773 - NISKA ALFINA SANIYA - MAKALAH
MAKALAH
PILAR-PILAR
PENDIDIKAN ISLAM BAGI GENERASI MILENIAL MENURUT QUR’AN SURAT LUQMAN AYAT 13-16
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Berbicara
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Isah Cahyani, M.Pd
Disusun oleh :
NISKA ALFINA SANIYA
2108773
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
بسم
الله الر حمن الر حيم
Maha
suci Allah yang maha mulia dengan segala kemuliaan dan keagungannya. Yang
senantiasa memberi kemampuan sehingga kita dapat meniti hari menggapai
cita-cita dengan cahaya ilmu.
Atas izin-Nya pula sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang diampu oleh Ibu Dr. Hj. Isah
Cahyani, M.Pd pada mata kuliah Menulis , yang berjudul :
“PILAR-PILAR PENDIDIKAN ISLAM BAGI GENERASI MILENIAL
MENURUT QUR’AN SURAT LUQMAN AYAT 13-16”
Penulis berharap, semoga
makalah ini dapat berguna dan menambah pengetahuan khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritiknya untuk
makalah ini.
Bandung,
Maret 2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Manfaat Penulisan
1.5. Metode Penulisan
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN ............................................................ 3
2.1. Pengertian
Pendidikan Islam
2.1.1. Tujuan
Pendidikan Islam
2.1.2. Hakikat
Pendidikan Islam
2.1.3. Pola Dasar Pendidikan Islam....................................................................................... 7
2.2. Generasi
Milenial
2.3. Pilar-pilar Pendidikan Islam Bagi Generasi Milenial menurut Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13-16............................................................................................................................................ 11
BAB III KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
…………………………………………………….................. 21
3.2. Saran……..
…………………………………………………….................. 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah sesuatu
yang harus dilaksanakan dan diperjuangkan, terutama dalam Pendidikan Islam dan
kita sebagai orang tua tentunya memiliki tugas dan peran penting dalam
Pendidikan di rumah. Untuk memberikan pengalaman, Pendidikan spiritual kepada
seluruh anggota keluarga. Mengajarkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran
Islam untuk dijadikan sebagai landasan bersikap di dalam kehidupan.
Sebagai orang tua dan
guru sebagai seorang pendidik masa kini tentunya harus mampu mendidik dan
membimbing anaknya dengan baik sesuai dengan perkembangan zaman pada saat ini.
Serta mereka juga harus menjadi contoh yang baik untuk dijadikan tauladan bagi
anak-anaknya.
Dewasa ini, tantangan
dalam mendidik anak tentunya lebih besar dan lebih kompleks di tengah gegap
gempita perkembangan teknologi yang semakin maju. Untuk mendidik generasi
milenial muslim, tentunya orang tua dan guru harus mampu memberikan penanaman
nilai-nilai Pendidikan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Allah SWT telah
mengisyaratkan pilar-pilar Pendidikan Islam salah satunya terdapat dalam
Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-16. Yang dimana ayat tersebut berisi
nasihat-nasihat tentang konsep Pendidikan Islam yang tentunya dapat diterapkan
di setiap zaman. Sebab, isi kandungan Al-Qur’an merupakan hal yang mutlak dari
Allah SWT dan tentunya tidak akan berubah sampai akhir zaman.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.
Apa
Pendidikan Islam?
1.2.2.
Apa
Generasi Milenial?
1.2.3.
Bagaimana
Pendidikan Islam bagi generasi milenial menurut
Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13-16
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1.
Untuk
mengetahui Pendidikan Islam
1.3.2.
Untuk
mengetahui generasi milenial
1.3.3.
Untuk
mengetahui bagaimana Pendidikan Islam bagi generasi milenial
Menurut Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13-16
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1.
Untuk
memahami konsep Pendidikan Islam bagi generasi milenial
1.4.2.
Untuk
memahami pilar-pilar Pendidikan menurut Al-Qur’an
surat Luqman ayat 13-16
1.5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah deskriptif
pendekatan studi kepustakaan (literatur), yakni penulis mengambil referensi
materi yang akan dibahas berdasarkan berbagai tulisan dari buku-buku.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pendidikan Islam
Kata “pendidikan” yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arab
adalah tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata “pengajaran” dalam bahasa
Arab adalah ta’lim, dengan kata kerja allama. Pendidikan atau
pengajaran dalam bahasa Arab adalah Tarbiyah wa ta’lim sedangkan
Pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah Tarbiyah Islamiyah.
Kata kerja rabba (mendidik)
sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW seperti tergambar dalam ayat
Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata rabba ditemukan pada
Qur’an Surat Al-Isra’[17] ayat 24, yang berbunyi :
رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ...
Artinya, “Ya
Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mengasuhku
(mendidikku) sejak kecil”.
Kata “Islam” dalam pendidikan Islam
menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam.
Pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW ialah agama yang telah mencakup ajaran yang dibawa oleh para nabi
terdahulu, dengan terlebih dahulu disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW ialah ibarat bangunan yang telah sempurna. Islam
dengan ciri-cirinya yang demikian itu selain menjadi karakter pendidikan, Islam
juga sekaligus menjadi tujuan dan prinsip pendidika Islam.
Dengan demikian kata Islam yang
berada di belakang kata pendidikan menjadi visi, misi, tujuan, dan karakter
pendidikan itu sendiri. Untuk itu secara singkat pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai pendidikan yang seluruh visi, misi, tujuan, proses belajar
mengajar, pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, pembiayaan,
pengelolaan lingkungan, evaluasi dan sebagainya, harus didasarkan pada ajaran
Islam tersebut. Pendidikan yang demikian itu disebut dengan Pendidikan Islam
atau Pendidikan yang Islami.
Secara teoritis, pendidikan Islam
sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan yang mengandung berbagai
teori yang dikembangkan dari hipotesis atau wawasan yang bersumber dari kitab
suci Al-Qur’an atau hadits, baik dilihat dari segi sistem proses dan produk
yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya untuk membudayakan umat manusia
agar bahagia dan sejahtera.
Menurut Prof. Dr. Omar Muhammad
At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses mengubah
tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya,
dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di
antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979:399).
Pengertian tersebut memfokuskan
perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain
itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan
kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan dan alam
semesta.
Dr.
Muhammad SA Ibrahimy (Bangladesh) mengemukakan pendidikan Islam sebagai berikut
:
Islamic education in true sense of the term, is a system of education
which enables a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that
the may easily mould his life in accordance with tenetn of Islam. (Arifin, 1991:34)
Pendidikan Islam dalam pandangan
yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan
mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian itu mengacu pada
perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip
islami yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia mampu
memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan IPTEK.
Upaya mendorong serta mengajak
manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nila yang tinggi dan kehidupan
yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan
dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. (Al-Jamali, 1986:3).
2.1.1.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
kegiatan selesai. Maka pendidikan, yang merupakan suatu usaha dan kegiatan yang
berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan
bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah berbentuk benda yang tetap dan statis,
tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan
dengan seluruh aspek kehidupannya.
Jika dilihat kembali pengertian pendidikan Islam, akan terlihat dengan
jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah seseorang mengalami pendidikan
Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi
“insan kamil”. Dengan pola takwa insan kamil artinya manusia utuh rohani dan
jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya
kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan
menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang
dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan
Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin
meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan
nanti.
2.1.2.
Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fitrah (kemampuan dasar) seorang anak melalui ajaran Islam ke arah
titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Pendidikan secara teoritis mengandung
pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak sehingga mendapatkan
kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar
manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam
maka harus berproses melalui sistem kependidikan Islam, baik melalui
kelembagaan maupun melalui sistem kurikuler.
Esensi dari potensi dinamis dalam
setiap diri manusia itu terletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu
pengetahuan, akhlak (moralitas) dan pengalamannya, dan keempat potensi dinamis
esensial ini menjadi tujuan fungsional pendidikan Islam. Oleh karenanya, dalam
strategi pendidikan Islam, keempat potensi dinamis yang esensial tersebut
menjadi titik pusat dari lingkaran proses kependidikan Islam sampai kepada
tercapainya tujan akhir pendidikan, yaitu manusia dewasa yang mukmin atau
muslim, muhsin, dan muhlisin mutakin.
2.1.3.
Pola Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian menuju yang ditetapkan sesuai dengan ajaran Islam. Jalannya proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bila dilandasi pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam.
Dengan
demikian suatu sistem pendidikan Islam harus berkembang dari pola yang
membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam. Sifat
konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari
pola dasarnya sehingga hasilnya pun sama dengan pola dasar tersebut.
Meletakkan pola dasar pendidikan Islam berarti
harus meletakkan nilai-nilai dasar ragam yang memberikan ruang lingkup
berkembangannya proses pendidikan Islam dalam rangka mencapai tujuan. Bukannya
nilai-nilai dasar yang dibentuk itu mempunyai kecenderungan untuk menghambat
dan menghalangi berkembangnya proses tersebut.
Islam memandang bahwa segala
fenomena alam ini adala hasil ciptaan Allah SWT yang tunduk pada hukum-hukum
mekanisme-Nya sebagai sunatullah, oleh karena itu manusia harus dididik agar
mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dalam hukum Allah itu. Dia harus
mampu mengorientasikan hidupnya kepada kekuatan atau kekuasaan yang berada di
balik penciptaan alam raya serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata
melalui tingkah laku. Atas dasar ini, manusia wajib mendasari kehidupannya
dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Yang Maha Menciptakan. Keimanan ini
diperteguh dalam hati dan dinyatakan dalam lisan serta difungsionalkan dengan
perbuatan.
Islam memandang manusia sebagai
makhluk yang paling mulia karena memiliki harkat dan martabat yang terbentuk
dari kemampuan-kemampuan kejiwaannya. Akal budinya menjadi tenaga penggerak
yang membedakan dari makhluk lainnya. Manusia menurut pandangan Islam,
diletakkan pada posisi khalifah di muka bumi ini. Sebagai khalifah manusia
diberi kelengkapan hidup rohaniah dan jasmaniah yang memungkinkan dirinya
melaksanakan tugas kekhalifahannya yaitu menguasai, mengeksploitasi, dan
mengolah serta memanfaatkan hasil-hasilnya bagi kepentingan hidup dunianya.
Allah sendiri pernah menunjukkan bahwa harkat martabat manusia sedikit lebih
tinggi daripada malaikat, karena dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah, ia
mampu belajar dan memahami nama-nama benda yang menjadi sumber utama
perkembangan ilmu pengetahuannya lebih lanjut. Manusia yang dapat mewarisi bumi
ini hanyalah yang berwatak shaleh (yang berjiwa membangun) saja, oleh karena
itu dalam pola dasar harus dinyatakan tentang nilai-nilai apa saja yang dapat
membentuk manusia menjadi shaleh sehingga mampu menjadi khalifah di muka bumi
ini.
Pandangan mengenai manusia bukan
saja makhluk pribadi, melainkan juga makhluk sosial yang harus hidup sebagai
anggota masyarakat sesamanya. Manusia harus mampu menjalin hubungan dengan
manusia lainnya dalam suatu ikatan kekeluargaan yang satu, karena manusia
seluruhnya adalah ummatan wahidatan (umat yang satu) yang dipersatukan dalam
tali ukhuwah islamiyah. Watak sosial yang dibentuk oleh Allah dalam pribadi
manusia adalah apa yang disebut dalam psikologi sosial dengan homososius yang
memiliki insting gregarious (insting senang berkumpul). Dengan kemampuan inilah
manusia mampu membentuk masyarakat yang mampu memenangkannya.
Generasi adalah sekelompok orang yang lahir sekitar waktu yang sama dan dibesarkan di tempat yang sama. Orang-orang dalam "kelompok kelahiran" ini menunjukkan karakteristik, preferensi, dan nilai moral yang serupa karena dibesarkan dalam zaman yang sama dalam perjalanan hidup mereka. Penyebutan ini menjadi populer karena biasanya suatu kelompok usia merepresentasikan satu generasi yang memiliki pola berpikir dan kecenderungan gaya hidup yang mirip.
Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y atau Generasi Langgas) adalah
kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti
untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya
menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini hingga awal
2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers.
Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya
'booming' (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan
1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di
negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby
boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang
Dunia II.
Penulis William Strauss dan Neil Howe secara luas dianggap sebagai
pencetus penamaan Milenial. Mereka menciptakan istilah ini pada tahun 1987, di
saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah, dan saat itu media
mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus
SMA pada tahun tahun 2000. Mereka menulis tentang kelompok ini dalam buku-buku
mereka Generations: The History of America's Future Generations, 1584 to 2069
(1991) dan Millennials Rising: The Next Great Generation (2000).
Karakteristik generasi milenial
berbeda-beda untuk setiap wilayah dan juga individu, dan kelompok ini mengalami
berbagai kondisi sosial dan ekonomi, tetapi mereka umumnya ditandai oleh
kemahiran yang mereka miliki karena besar di zaman perkembangan informasi.
Generasi ini juga identik dengan kepiawaian mereka dalam menggunakan teknologi
digital, serta terlibat aktif dalam media sosial.
Pilar-pilar Pendidikan
Islam Bagi Generasi Milenial menurut Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13-16
Pendidikan merupakan satu bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan
suatu fitrah dan kebutuhan hidup bagi manusia agar dengan pendidikan itu
manusia dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan di cita-citakannya.
Sebagaimana yang dikemukakan
Muhammad Fadhil Al Jamali, memberikan pengertian bahwa pendidikan ialah upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan landasan
nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
(Al-Jamali, 1986:3).
Pentingnya pendidikan dalam koridor
Islam menurut orang tua untuk tahu bagaimana cara mendidik anak dalam Islam,
karena anak itu sendiri merupakan amanah (titipan) dari Allah SWT yang harus
kita jaga dan pelihara sebaik-baiknya terutama dalam pendidikan dan akhlaknya.
Sebagaimana
terkandung dalam Q.S Al-Anfal[8] : 27,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ
وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda :
“Di antara kewajiban
orang tua terhadap anak hendakla mendidiknya dengan baik dan membaguskan
namanya.”
Untuk itu pembinaan moral di rumah
harus dilakukan sejak anak masih kecil sesuai dengan kemampuannya, anak dan
umurnya, karena setiap anak yang lahir belum mengerti mana yang benar mana yang
salah, dan belum tahu batas-batas ketentuan moral yang berlaku dalam
lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk
menumbuhkan moral, anak-anak dibesarkan tanpa mengenal moral, untuk itu yang
memiliki peran penting dalam pendidikan anak di keluarga yaitu orang tua
sendiri khususnya ibu, sehingga diharapkan ibu-ibu rumah tangga tidak hanya
mengikuti pendidikan di kala masih duduk di bangku sekolah saja, akan tetapi
harus banyak belajar dari berbagai media baik melalui pengajian, majelis
ta’lim, koran, majalah, televisi, radio bahkan internet, sebab pendidikan ini
nantinya akan mempunyai implikasi yang sangat kuat. Anak adalah harapan di masa
yang akan datang dan akan menjadi pelopor di masa depan umat Islam.
Tetapi terkadang orang tua (pendidik
kodrati) itu kurang memiliki kemampuan meluangkan waktu dan hal lain
semacamnya, untuk memberikan pendidikan yang diperlukan anaknya sehingga mereka
tidak memiliki rencana tertulis dan sistematis dalam mendidik putra-putrinya,
maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada guru di sekolah, terutama
Agama dan masyarakat di ruang kehidupannya.
Kemampuan menjadi orang tua yang
cakap dan baik tidak begitu saja jatuh dari langit melainkan harus banyak
belajar sebagaimana yang dikemukakan di atas, karena sejatinya orang tua yang
banyak belajar, memiliki banyak ilmu pengetahuan tentang bagaimana mendidik
anak dengan baik dan benar. Dengan pengetahuan tersebut sekurang-kurangnya
menjadi rambu-rambu penuntun bagi orang tua untuk menjalankan tugasnya, namun
orang tua seperti ini lebih sedikit dibanding orang tua yang tidak mau belajar,
kebanyakan mereka hanya mengandalkan insting dan berbekal pengalaman orang tua
terdahulu, akibatnya dalam kehidupan sehari-hari bayak kita jumpai orang tua
yang kebingungan menghadapi masalah mendidik anak-anaknya.
Apalagi pada masa sekarang ini
derasnya arus matrealistis yang kian hari semakin parah dan semakin tidak
terkendali, gempuran kejahiliyahan terus-menerus semakin menyerang keluarga
kita melalui tayangan televisi, film, telepon selular, media cetak, internet,
dan berbagai media lainnya, dampak negatifnya sudah terasa oleh kita seperti
halnya tayangan yang ada di televisi hampir setiap hari menjadi santapan bagi
anak-anak, tontonannya tidak menjadi tuntutan bagi pendidikan anak usia pra
sekolah yang cepat sekali menyerap informasi apa yang dilihat dan apa yang
didengar.
Bahkan anak-anak usia pra sekolah
sering meniru apa yang mereka lihat, banyak tayangan televisi yang tidak patut
ditonton oleh anak-anak di bawah umur, untuk itu para orang tua harus mendampingi
anak-anaknya ketika menonton acara di televisi, tetapi karena kesibukan para
orang tua sekarang ini sehingga kewajiban tersebut terabaikan.
Tugas yang sangat berat bagi orang
tua untuk bisa mengarahkan anak-anaknya agar kelak menjadi anak sholeh,
berkepribadian Islami, cerdas, mandiri, beriman, dan bertakwa, maka kewajiban
orang tua dapat mengembangkan fitrah (kemampuan dasar). Untuk mengembangkan
fitrahnya, maka tugas dan kewajiban orang tua adalah memberikan pendidikan
terhadap anak-anaknya.
Melihat anak tumbuh menjadi pribadi
yang berprestasi dan sukses dalam hal duniawi maupun ukhrawi adalah capaian
terbesar dalam hidup kita sebagai orang tua. Kesuksesan anak tersebut merupakan
simbol keberhasilan kita dalam mendidik. Hal tersebut juga merupakan warisan
abadi yang diturunkan orang tua kepada anaknya. Ketika harta dapat berkurang
bahkan habis, maka pendidikan yang kita berikan kepada anak akan senantiasa
menyertai mereka sampai kapan pun dan dimana pun mereka berada dan dengannya
anak dapat menjawab segala tantangan dalam petulangan hidupnya.
Mendidik anak adalah kewajiban
terpenting yang menjadi tanggung jawab orang tua. Namun, untuk hal sepenting
ini, tidak ada sekolah atau kursus yang dapat diambil oleh orang tua sebagai
bekal mendidik anak. Tidak jarang, besarnya tanggung jawab ditambah tidak
adanya acuan pasti mengenai cara mendidik anak membuat hal tersebut dapat
mengatasi kompleksitas problematika pendidikan anak. Jika tidak, maka yang akan
terjadi adalah ketimpangan pemahaman antara anak dan orang tua yang pada
gilirannya dapat menghambat komunikasi untuk kemudian memacetkannya sama
sekali.
Berkaca pada nasihat Lukman pada
anaknya yang diabadikan dalam sebuah ayat Al-Qur’an, yang mana di dalamnya kita
akan menemukan empat pilar pendidikan dalam Islam.
Hal itu terkandung
dalam Q.S Luqman[31] : 13-16,
وَلَقَدْ
اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗ وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِ
نَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖ ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
(١٢) وَاِ ذْ قَا لَ لُقْمٰنُ لِا بْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ
بِا للّٰهِ ۗ (١٣) وَوَصَّيْنَا الْاِ نْسٰنَ بِوَا لِدَيْهِ ۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ
وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِيْ عَا مَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِـوَا
لِدَيْكَ ۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ (١٤) وَاِ نْ جَاهَدٰكَ عَلٰۤى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَا حِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا
مَعْرُوْفًا ۖ وَّا تَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَا بَ اِلَيَّ ۚ ثُمَّ اِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَاُ نَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ (١٥) يٰبُنَيَّ اِنَّهَاۤ
اِنْ تَكُ مِثْقَا لَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى
السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَ رْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ
خَبِيْرٌ (١٦)
Artinya, “(12) Dan sungguh, telah Kami
berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada Allah! Dan
barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya
Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (13) Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada
anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah
engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar.” (14) Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku
kembalimu. (15) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau
menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka
akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (16) (Lukman
berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan
memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.”
Pilar-pilar
pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Lukman di atas antara lain :
l Tidak mempersekutukan Allah SWT
Menanamkan nilai-nilai keislaman
kepada seorang anak tentu menjadi pondasi utama bagaimana anak tersebut untuk
mempercayai keberadaan Allah SWT sebagai Tuhannya. Proses itu harus dimulai
sejak dini bahkan bial perlu sejak dalam anak dalam kandungan. Dengan menyadari
bahwa Allah-lah yang berkuasa atas segala hal yang ada di muka bumi ini lambat
laun akan membuat pondasi keyakinan dalam diri seorang anak. Hal tersebut juga
akan menghindarkan akan anak tersebut untuk berbuat hal-hal yang melanggar
aturan Allah SWT karena dia percaya bahwa keyakinannya kepada Allah SWT sudah
tertanam betul dalam jiwanya.
Maka dari itu hal ini sangat penting
untuk diterapkan sedini mungkin kepada seorang anak. Agar dalam hatinya hanya
tumbuh nilai-nilai baik dari Islam yang akan melindunginya dari segala
kecarut-marutan dunia ini.
l Berbakti kepada orang tua
Berbuat baik kepada orang tua,
khususnya ibu, adalah mutlak hukumnya.karena itu, kewajiban berbuat baik ini
juga tetap dilakukan jika orang tua, khususnya ibu, berbeda agama. Perbuatan
baik ini bisa diistilahkan sebagai rasa terima kasih karena telah melahirkan,
merawat, dan mendidik kita dengan ikhlas. Selain itu, seseorang bisa berhasil
tentu salah satunya karena jasa dan keridhoan seorang ibu. Dalam sebuah hadits
juga disebutkan,
“Keridhoan Allah bergantung pada
kerihoan kedua orang tua. Kemurkaan Allah bergantung pada kemurkaan orang tua.”
(Muttafaq Alaih).
Pendapat ini diakui oleh budaya dari
luar Arab, misalnya budaya Cina. Mencius, seorang filsuf terkenal dalam sejarah
Cina, memiliki ibu yang luar biasa sehingga bisa membuatnya menjadi seorang
cenikiawan. Ibunya selalu berpindah-pindah tempat karena dia menganggap
lingkungan yang baik akan membentuk anaknya dengan baik pula. Dia berpindah
dari lingkungan buruh karena khawatir anaknya nanti meniru dan menjadi buruh.
Dia lalu pindah ke lingkungan pedagangan, namun dia khawatir anaknya hanya akan
menjadi pedagang. Lalu, dia sampai berhenti ke lingkungan para pendidik dan
orang terpelajar. Ibu Mencius puas dan merasa ini lingkungan paling cocok
dengan anaknya. Ibu Mencius juga selalu memacu anaknya untuk belajar dengan keras.
Karena tuntutan itu, Mencius bisa menjadi filsuf yang bijaksana dan dihormati.
Hebatnya, setelah menjadi filsuf, Mencius masih sering meminta nasihat dari
ibunya. Mencius tetap dikenang dengan baik dan dihormati oleh bangsa Cina
sampai sekarang.
Islam tentu harus lebih menyadari
hal ini daripada umat lain. Berbakti kepada ibu harus dilakukan sepanjang
hayat. Bahkan, ketika beliau sudah meninggal. Kita bisa berbakti kepada beliau
dengan selalu mendoakannya serta selalu merawat peninggalan baiknya. Doa dari
seorang anak sangat dibutuhkan karena merupakan salah satu amal yang tidak
putus walau orang tua sudah meninggal.
Selama hidup, perbuatan baik ini
bisa dilakukan dengan selalu melakukan perbuatan yang menyenangkan hatinya dan
selalu mematuhi perintah dan anjurannya. Jika memang ada yang salah, luruskan
dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Hal ini harus tetap dilakukan
meskipun kita sudah berada di posisi terhormat dan memiliki pendidikan yang
tinggi. Tentu akan menjadi sebuah kebanggan bagi orangtua jika kita tetap bisa
merawat mereka di tengah kesibukan jadwal dan karier. Semua ini semata karena
posisi orang tua, khususnya ibu, yang sangat ditinggikan dalam Islam.
l Bersyukur kepada Allah SWT
Bersyukur
adalah wujud terima kasih seorang hamba kepada Allah SWT atas segala nikmat
yang telah dilimpahkan dan diberikan kepada kita. Nikmat dapat berbentuk dalam
banyak hal, mulai dari rezeki, nikmat sehat yang selalu diinginkan oleh setiap
insan. Bersyukur kepada Allah SWT tentunya dapat diwujudkan dalam bentuk ucapan
dan perbuatan. Allah SWT berjanji akan melipatgandakan pahala bagi umat Islam
yang senantiasa bersyukur. Menerima takdir dengan ikhlas, lapang dada, dan
tidak banyak mengeluh menjadi contoh wujud syukur kita atas nikmat dan karunia
yang telah Allah SWT berikan.
Bersyukur kepada Allah tidak
terlepas dari rasa syukur kita kepada kedua orang tua. Karena merekalah yang
telah melahirkan, membimbing, mendidik, dari sejak bayi hingga dewasa. Untuk
itu sesuai dengan ayat Al-Qur’an surat Luqman sebagaimana yang tercantum di
atas mengungkapkan bahwa kita harus bersyukur kepada Allah SWT serta bersyukur
kepada kedua orang tua. Tanpa kasih sayang mereka tentunya kita tidak akan
berada dalam pencapaian apapun dalam hidup kita. Karena segala ketaatan dan
kepatuhan kepada orang tua atau biasa disebut birrul waa liadin akan
mendatangkan keridhoan Allah SWT.
l Meyakini bahwa adanya balasan dari setiap perbuatan baik
Pada
setiap perbuatan baik manusia itu yang besar maupun perbuatan kecil, tentu akan
ada pahala dari apa yang kita perbuat. Perbuatan kecil yang sering kita anggap
tidak bernilai, contohnya semisal saat kita tidak sengaja membuang duri di
jalan. Tentu perbuatan seperti itu tampak sepela dan tidak ada artinya. Tapi
bila dipikir kembali, jika tidak disingkirkan boleh jadi akan ada orang yang
terluka. Jadi, keabikan sekecil apapunakan sangat bermakna apalagi perbuatan
baik itu dilakukan terus menerus, maka tentu akan menjadi kebaikan yang besar.
Dalam Al-Qur’an surat
Al-Zalzalah[99]:78 disebutkan,
“Maka barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.”
Untuk
itu, kita harus tetap berbuat baik kepada setiap orang karena berbuat baik
adalah norma yang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena dalam kehidupan ini
kita akan senantiasa bertemu dan berinteraksi dengan setiap orang, maka lakukan
lah kebaikan selama kita mampu dengan niat karena Allah SWT.
Pendidikan
diibaratkan sebuah bangunan yang memerlukan dasar yang kuat agar bangunan
tersebut dapat berdiri kokoh, berdaya guna bagi pembinaan sumber daya manusia
begitu pula halnya ilmu pengetahuan. Di samping itu, ilmu pengetahuan juga
harus diimbangi dengan umber pendidikan Islam sebagai acuan atau rujukan yang
darinya akan memancar nilai-nilai dan ilmu pengetahuan yang
ditransiternalisasikan. Sumber ini tentu diyakini kebenaran dan kekuatannya
dalam mengantarkan aktifitas pendidikan dan telah teruji dari waktu ke waktu.
Sebagaimana
halnya kita sedang ada dalam generasi milenial. Yang setiap zamannya memiliki
teknologi dan peradabannya masing-masing. Generasi yang dihasilkannya pun akan
mengikuti karakteristik sesuai zamannya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata,
“Didiklah
anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.”
Berbicara
mengenai perbedaan zaman, maka otomatis kita juga berbicara mengenai perbedaan
perspektif, perbedaan mindset, perbedaan tren, dan lain sebagainya.
Menjadi sangat naif jika ada orang tua yang memiliki mindset dari masa
lalu kemudian mindset ditanamkan kepada anaknya yang lahir dan besar di
masa yang berbeda, dengan harapan anak ini bisa suksesdi masa depan.
Dewasa
ini, banyak kita jumpai orang tua dan guru yang menolak untuk membuka hati dan
pikirannya terhadap perubahan zaman. Mungkin tanpa mereka sadari, mereka telah
menolak untuk mengakui bahwa zaman anaknya berbeda dengan zamannya dahulu.
Pekerjaan-pekerjaan yang dulu menjadi tren, pada zaman now sudah semakin
bergeser, bahkan berubah.
Ambil
saja contoh tentang jenis pekerjaan. Dahulu, terdapat pekerjaan-pekerjaan
favorit, di mana jika seseorang menekuni pekerjaan tersebut, maka hampir dapat
dipastikan hidupnya akan sejahtera, bahkan dipandang dan dihormati oleh banyak
orang. Karenanya kemudian, banyak orang berlomba untuk menekuni
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dahulu juga, banyak anak-anak ketika ditanya, apa
cita-citanya? Rata-rata mereka akan menjawab, “Aku ingin menjadi guru,
dokter, polisi, insinyur, tentara, pilot, PNS, dan lain sebagainya.”
Dalam
kenyataannya, banyak orang tua yang memiliki mindset bahwa anaknya harus
menekuni pekerjaan-pekerjaan yang ngetren pada masa orang tuanya
sehingga mereka diarahkan untuk menempuh pendidikan tertentu untuk mencapai
pekerjaan tersebut. Mereka kemudian menyekolahkan anak-anaknya di lembaga
pendidikan yang prestisius dan menuntut anak-anak mereka mencapai nilai
akademis tinggi. Standar akademis yang selalu menjadi syarat utama untuk
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tersebut, membuat para orang tua menuntut
anak-anaknya untuk fokus pada nilai-nilai. Akibatnya, prestasi non-akademis
menjadi terabaikan dan sekedar pelengkap kehidupan saja.
Ada
lagi yang menarik tentang perbedaan zaman dulu dan zaman sekarang. Akses
informasi hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Oleh sebab itu kurangnya
kurangnya pemerataan informasi bagi yang tidak memiliki akses. Dahulu para guru
adalah sumber ilmu dan pengetahuan. Kenapa? Karena mereka telah mempunyai ilmu
yang mumpuni. Berbeda dengan sekarang, dimana sumber ilmu pengetahuan dapat di
akses secara daring atau online. Bahkan fenomena yang banyak terjadi
saat ini, seringkali seorang murid memiliki pengalaman yang lebih jauh dari
pengalaman gurunya sendiri.
Itulah
sebabnya orang tua harus menyadari dan memahami bahwa setiap zaman memiliki generasinya
sendiri sesuai dengan perkembangan teknologi pada masanya. Yang akhirnya muncul
perbedaan pola pikir pada setiap generasi. Maka, para orang tua idealnya harus
memahami dan bisa menyesuaikan perkembangan pendidikan seperti halnya yang
diungkapkan oleh Ali bin Thalib bahwa mendidik seorang anak itu harus
disesuaikan dengan zamannya masing-masing.
Di
samping itu, orang tua juga harus menyadari bahwa dalam mendidik generasi itu
harus bertumpu pada pilar-pilar pendidikan Islam yang hakiki, yaitu menurut
firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat 12-16 seperti yang telah diungkapkan
di atas. Ayat tersebut mengisyaratkan mengenai pilar-pilar pendidikan yang
harus ditanamkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Karena kandungan dari
Al-Quran merupakan ketentuan absolut yang diturunkan Allah SWT sebagai sumber
yang mulia.
Artinya,
nilai esensi pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an itu selamanya abadi
dan relevan pada setiap zaman tanpa ada perubahan sama sekali. Bahkan orang tua
yang mendidikan anak-anaknya pada zaman milenial pun tetap harus bertumpu pada
pilar-pilar pendidikan yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Luqman tersebut di
atas.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pilar-pilar Pendidikan Islam harus dapat dijadikan acuan bagi para
orang tua dan guru sebagai pendidik dalam melaksanakan tugas serta kewajibannya
dengan harapan anak-anak tersebut menjadi generasi yang memiliki akidah yang
kuat, akhlak yang baik dan berakter, berbakti kepada orang tua, mempunyai
empati kepada sekitar, menjadi pribadi yang bersyukur.
3.2 Saran
Penulis berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, khususnya bagi penulis
sendiri.
Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk makalah ini. Agar makalah
yang jauh dari kata sempurna ini dapat menemukan kekurangan yang dapat
diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman
Saleh. (2007). Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta:PT.
Rineka Cipta.
Anshori. (2010). Transformasi
Pendidikan Islam. Jakarta:Gaung Persada Press.
Nirmala, Aktasika Badai.
(2020). Mendidik Generasi Muslim Milenial. Jakarta:Emir.
Umar, Bukhori. (2010). Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta:Amzah.
Anshori. (2010). Transformasi
Pendidikan Islam. Jakarta:Gaung Persada Press.
Komentar
Posting Komentar